Selasa, 24 Januari 2017

GEMA PEMBEBASAN: "KAMI SIAP MENJADI GARDA TERDEPAN MEMBELA ULAMA DAN AGAMA, BIARPUN MENJADI TUMBAL"


25 Januari 2017

Usaha berbagai pihak untuk melakukan kriminalisasi terhadap ulama terus meningkat. Setelah kecaman Kapolri terhadap Fatwa MUI, pelaporan terhadap Habib Rizieq Syihab, pembenturan antara massa umat islam dengan ormas preman GMBI, lalu baru-baru ini muncul 5 Resolusi dari sebagian kecil gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan mahasiswa Indonesia.
.
"Mahasiswa harusnya cerdas menilai, siapa yang selalu berkhianat kepada rakyat? Siapa yang selalu menindas rakyat? Siapa yang selalu membohongi rakyat dengan kebijakan-kebijakan zalim dan menyengsarakan?

Mulai dari #reklamasi, penyerbuan Aseng China ke Indonesia melalui sarana-prasarana infrastruktur, hingga cengkraman hegemoni Asing Amerika dengan neoimperialisme dan neoliberalismenya." papar Ketua Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan, Ricky Fattamazaya.

Ricky juga mengritik kehadiran gerakan-gerakan mahasiswa ini. Ketika harga bahan pokok naik, blok Mahakam, blok Natuna, hingga Freeport dikeruk asing, gerakan-gerakan ini tidak terdengar suaranya.
.
“Di mana pula mereka ketika agama dinista? Di mana mereka ketika ada isu Papua atau dulu Timor Timur mau lepas? Di mana mereka ketika saudara kita se-agama yang tidak bersalah di #Aleppo dan #Rohingya dibantai?” cecarnya.

Ricky tidak luput menyinggung salah satu poin resolusi terkait Habib Rizieq. Dalam resolusi tersebut, Habib Rizieq justru yang mereka tuntut, walau posisinya senantiasa membela Islam.
.
“Saya yakin Habib Rizieq Syihab adalah orang yang ikhlas, kuat dan selalu mengatakan yang haq walaupun pahit. Semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi beliau di setiap masa dan tempat." ujarnya.

Terakhir, Ricky menegaskan di mana posisi Gema Pembebasan. "Kami tekankan bahwa kami dari Gerakan Mahasiswa Pembebasan siap menjadi garda terdepan membela ulama dan agama, biarpun kami yang menjadi tumbal!" pungkasnya.

@hizbuttahririd

#GemaPembebasan #mahasiswaIslam

Tipologi Polisi, Dahulu dan Akhir Zaman

Syurtoh (Aparat polisi) dalam perspektif Islam
Kata polisi atau aparat keamanan dalam bahasa Arab disebut Syurtoh/syurthi. Lafaz ini sudah dikenal sejak zaman nabi Muhammad -shallallahu alaihi wasallam-. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik di dalam Shohih Bukhori :
إِنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ كَانَ يَكُونُ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِمَنْزِلَةِ صَاحِبِ الشُّرَطِ مِنَ الأَمِيرِ
Artinya : “Sesungguhnya Qais bin Sa’ad berada di sisi Nabi SAW seperti kepala polisi di sisi pemimpin (raja).” (HR Bukhori)
Apa maksud kata syurthoh yang disebutkan di dalam hadits di atas? Di dalam kamus lisanul Arab ada begitu banyak makna dari kata tersebut, di antaranya adalah kaki tangan penguasa, mereka dinamakan syurthoh, karena mereka mereka memiliki ciri khusus yang dengannya mereka dapat diidentifikasi. (lihat Lisanul Arab 7/39)
Adapun secara Istilah makna syurthoh adalah aparat yang diandalkan oleh khalifah atau gubernur dalam menjaga keamanan dan pemerintahan, menangkap pelaku kriminal dan tugas-tugas administratif lainnya yang menjamin keamanan dan ketentraman rakyat. (Tarikhul Islam As Siyasi wad Dini wa Tsaqofi wal Ijtima’i 1/460)
Setelah menyimak penjelasan makna kata syurthoh (polisi) di atas, setidaknya kita memiliki gambaran tugas apa yang dilakukan oleh sahabat Qais in Sa’ad. Selain Qais bin Sa’ad ada pula beberapa sahabat yang bertugas menjaga nabi Muhammad -shallallahu alaihi wasallam-. Di antaranya adalah Sa’ad bin Muadz, beliau menjaga nabi -shallallahu alaihi wasallam- saat perang Badar, Muhammad bin Maslamah menjaga nabi -shallallahu alaihi wasallam- saat perang Uhud, Zubair bin Awam menjaga beliau saat perang Khondaq dan beberapa lainnya. (Zaadul Ma’ad 1/127)
Di dalam Islam, negara memiliki kewajiban yang sifatnya fardu kifayah untuk mewujudkan lembaga kepolisian guna menjalankan tugas-tugas keamanan dalam Islam. Di antara tugas-tugas utama lembaga tersebut adalah untuk menjaga keamanan dan ketentraman rakyat, menjaga kenyamanan masyarakat dalam menjalankan ibadah, memotong tangan pencuri, merajam pelaku zina, melaksanakan hukum qishas, mendera para pemabuk dan tugas-tugas penerapan syariat Islam lainnya.
Abul Hasan As Sanadi Al-Madani di dalam Hawasyi (sejenis syarh) Musnad Imam Ahmad berkata, “Syuroth adalah bentu jamak dari kata syurthi (polisi) mereka adalah kaki tangan penguasa untuk memantau kondisi masyarakat, menjaga mereka dan juga bertugas untuk menegakkan hudud (hukum pidana Islam).” (At-Tarotiibu Al Idariyah 1/22)
Di dalam Ma’atsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah juga disebutkan bahwa tugas polisi adalah membungkam orang bodoh, membuat jera orang sesat, menyelidiki orang jahat, mengejar pelaku kriminal, mencari tempat persembunyian mereka, menyelidiki rahasia mereka, melakukan pembuktian terhadap orang-orang yang mereka tangkap, menerapkan hukum-hukum Allah yang sesuai dengan pelanggaran yang mereka lakukan. (Maatsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah 3/23)
Dari pemaran di atas setidaknya ada 3 tugas besar polisi dalam perspektif Islam. Pertama, menjaga keamanan masyarakat, termasuk di dalamnya keamanan sang khalifah. Kedua, menangkap para pelanggar syariat Allah apapun itu bentuknya. Ketiga, menghukum para pelanggar syariat dengan hukuman yang telah ditentukan oleh syariat.
Sifat Polisi Menurut Para Ulama
Melihat peran vital polisi dalam menjaga syariat Islam, maka kriteria untuk bisa menjadi polisi tidaklah sederhana. Di dalam kitab Bada’ius Silki fi Thobai’il Mulki, Ibnul Azraq berkata, “Wajib bagi Imam untuk memilih polisi dari kalangan orang yang tsiqoh (terpercaya) agamanya, tegas dalam membela kebenaran dan hudud (hukum pidana Islam), pintar strategi dan tidak mudah dibodohi.” (Bada’ius Silki fi Thobai’il Mulki 1/60)
Di dalam nukilan di atas setidaknya disebutkan 3 sifat yang mesti dipenuhi oleh seorang polisi. Pertama adalah sifat tsiqah dalam agama. Tsiqah beragama maksudnya, dia merupakan orang yang senantiasa menjauhi dosa-dosa, baik besar maupun kecil, menjaga muru’ah (kehormatan) serta menjaga hal-hal yang wajib dan sunnah. Karena seorang yang tsiqah dalam beragama niscaya dia akan menghadirkan muroqobah Allah dalam setiap tindakannya.
Layaknya seorang perawi hadits yang harus tsiqah, sifat tsiqah juga harus menjadi sifat dasar seorang polisi. Karena kedua-duanya memiliki kesamaan tugas dalam menjaga agama. Perawi menjaga hadits sebagai sumber agama, sementara polisi menjaga penerapan agama dalam sendi-sendi kehidupan.
Sifat yang kedua adalah tegas dalam membela kebenaran dan menegakkan hudud. Sudah maklum adanya bahwa di dalam Islam Negara sudah seharusnya berhukum dengan syariat Islam, yang mana Al-Quran dan Sunnah menjadi standar kebenaran itu sendiri. Di samping itu konsekuensi dari menjadikan syariat sebagai standar kebenaran adalah menerapkan hudud guna menjaga keamanan dan ketentraman umat.
Oleh karena urgennya hal tersebut, maka seorang polisi harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap syariat. Baik yang sifatnya ritual, maupun non ritual. Jauh panggang dari api rasanya jika seorang polisi tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menerapkan syariat islam dan hudud. Pastinya akan banyak terjadi penyelewengan fungsi di tengah bertugas.
Sifat ketiga adalah cerdik dan lihai dalam strategi. Sifat ini jelas diperlukan oleh polisi, karena dalam menjaga kemanan dan ketentraman umat, polisi sering menghadapi para penjahat yang licik dan lihai berstrategi. Untuk itu diperlukan pula kecerdesan dan kecerdikan guna mematahkan tipu daya mereka.
Ibnul Qayyim dalam Thuruq Hukmiyah dalam konteks menjelaskan kecerdasan yang harus dimiliki polisi, beliau menukil sebuah kisah, “Suatu ketika diserahkan 2 orang yang tertuduh mencuri kepada kepala polisi, kemudian beliau minta dibawakan segelas air, lantas beliau menjatuhkannya dengan segaja. Yang satu gemetar takut, sementara yang lainnya diam tak bergerak. Kemudian beliau berkata kepada yang ketakutan, “Silahkan pergi.” Sementara kepada orang yang tak bergeming beliau berkata, “Serahkan uang yang kau curi.”
Kemudian beliau ditanya, “Kenapa anda bisa tahu?”  beliau menjawab, “Pencuri itu hatinya keras, maka dia tidak akan bergeming, sementara orang baik, jika seekor tikus bergerak di rumah dia akan terperanjat sehingga dia tidak jadi mencuri.”
Masih mengenai sifat polisi, Ibnu Farihun dalam Kitab Tabshiratul Hukkam, “Suatu ketika Imam Malik ditanya tentang seorang polisi yang diajak orang untuk menggrebek sebuah rumah yang isinya orang sedang minum minuman keras? Jika rumah tersebut sebelumnya dikenal dengan rumah baik-baik (tidak pernah digunakan untuk pesta miras) maka hendaknya polisi tersebut tidak mengikuti ajakan tersebut. Jika rumah tersebut terkenal dengan tempat minum khamr maka hendaklah dia ikut.”
Perkataan di atas menunjukkan sifat kehati-hatian yang harus dimiliki oleh seorang polisi. Lebih jauh lagi seharusnya seorang polisi menjauhi kondisi-kondisi dan tempat-tempat yang membuat orang bersuudzon kepadanya. Berbagai sifat-sifat yang disebutkan di atas merupakan sifat dasar yang tidak boleh dilupakan oleh seorang Imam dalam memilih polisi.
Polisi Akhir Zaman
Berbeda dengan pemaparan di atas yang memberikan gambaran ideal seorang polisi dalam perspektif Islam, di lain sisi ada hadits Nabi -shallallahu alaihi wasallam- yang berisi ancaman kepada polisi di akhir zaman. Di antaranya hadits-hadits tersebut adalah :
سيكون في آخر الزمان شرطة يغدون في غضب الله ، و يروحون في سخط الله
Artinya, “Akan ada di akhir zaman nanti para polisi yang berangkat di pagi hari membawa murka Allah dan pulang di sore hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR Thobroni)
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صنفان من أهل النار لم أرهما: قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس، ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة، لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها، وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذا وكذا (رواه مسلم)
Artinya, “Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah saya melihatnya. Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, melenggak-lenggok dan kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak masuk surge dan tidak akan mencium wanginya, padahal wanginya tercium dari jarak segini dan segini.” (HR Muslim)
Mengomentari hadits di atas Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata, “Hadits ini adalah salah satu bentuk mukjizat nabi dan apa yang telah disampaikan nabi -shallallahu alaihi wasallam- telah terjadi. Adapun yang dimaksud dengan pembawa cemeti adalah pasukan kepala polisi dan yang sejenisnya.” (Syarh Shohih Muslim 17/190)
Di dalam hadits lainnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda :
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يوشك إن طالت بك مدة أن ترى قوما في أيديهم مثل أذناب البقر يغدون في غضب الله ويروحون في سخط الله
Artinya, “Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika umurmu panjang, maka kamu akan mendapati suatu kaum yang di tangan mereka alat seperti ekor sapi, mereka di pagi hari berangkat dengan murka dari Allah dan pulang di mala hari membawa kemarahan dari Allah.”  (HR Muslim)
Tiga hadits di atas menjelaskan tentang tercela dan terlaknatnya polisi di akhir zaman, apa sebab? Hal ini dijelaskan oleh Qadhi Iyad, beliau berkata, Mereka dimasukkan ke dalam neraka kemungkinan karena kezaliman, penyiksaan yang mereka lakukan dan kesemena-menaan terhadap manusia dengan memukul menggunakan cemeti dan sejenisnya. Bisa juga mereka dimasukkan ke dalam neraka karena kemaksiatan yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka, seperti kekufuran dan selainnya.” (Ikmalul Muallim Syarh Shohih Muslim 6/332) 
Penulis kitab Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berada di sekitar orang-orang zalim, bekerja kepadanya laksana serigala dan mereka mengusir manusia dari orang zalim itu dengan menggunakan pukulan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih 6/2301)
Dari dua nukilan di atas bisa disimpulkan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan buruknya polisi di akhir zaman lebih karena berdirinya mereka dalam membela para tiran nan zalim. Pembelaan mereka terhadap tiran nan zalim menjadikan mereka meninggalkan nilai-nilai agama, melupakan tugas asal mereka dalam mengawal syariat Islam dan keamanan umat.
Pembelaan terhadap para tiran pulalah yang kadang membuat mereka tega menghilangkan nyawa muslim, menyiksa dan memenjarakan orang-orang yang dianggap mengganggu sang tiran. Kiranya inilah yang menjadikan mereka terlaknat sepanjang hari dan diancam neraka oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-.
Pada dasarnya profesi sebagai polisi berpotensi menjadi sarana ketaatan kepada Allah seperti yang dilakukan oleh ‘polisi-polisi’ Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-. Namun, jika tidak berhati-hati juga berpotensi menyeret seseorang ke dalam neraka  sebagaimana ramalan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-terhadap polisi akhir zaman.
Penulis : Miftahul Ihsan
Editor : Arju
Diambil dari: https://www.kiblat.net/2017/01/24/tipologi-polisi-dahulu-dan-akhir-zaman/




Senin, 23 Januari 2017

RESOLUSI 2017 PEMUDA DAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA


24 Januari 2017
Bismilahi Arrahman Arrahim
Sehubungan dengan munculnya sekelompok pemuda dengan klaim mewakili Mahasiswa Indonesia yang kemudian melayangkan sebuah Resolusi. Resolusi tersebut pada dasarnya ikut mendorong upaya rezim melakukan kriminalisasi terhadap Habib Rizieq Syihab yang merupakan salah satu Ulama pewaris Nabi dan juga seolah menuduh aksi-aksi umat Islam Indonesia sebagai pemecah belah bangsa, Kami Mahasiswa dan Pemuda Islam Indonesia menyatakan:
1. Bahwa manuver dukungan kriminalisasi terhadap ULAMA PEWARIS NABI dan ormas Islam yang dilakukan oleh SEGEROMBOLAN pemuda tersebut, justru merupakan upaya adu domba antar elemen bangsa yang dapat menyulut disintegrasi bangsa Indonesia dan sikap intoleransi antar umat beragama;
2. Bahwa upaya SEGEROMBOLAN pemuda yang mengaku mahasiswa tersebut adalah sangat disayangkan karena bukan kritis terhadap segala bentuk kedzaliman rezim, justru ikut mendorong pembungkaman yang dilakukan rezim terhadap berbagai bentuk kritik ULAMA PEWARIS NABI terhadap rezim;
3. Bahwa Seharusnya perjuangan mahasiswa adalah melawan hegemoni NEOLIBERALISME serta tajam kritisnya terhadap penguasa khianat yang menjual aset negara kepada Aseng dan Asing, bukan malah menjadi kepanjangan tangan para komprador;
4. Bahwa Rezim hari ini justru mencoba melakukan kriminalisasi terhadap Islam, aktivisnya dan para ulama padahal sesungguhnya solusi atas rusaknya negeri ini ada pada ISLAM yang diperjuangkan oleh para aktivisnya dan ULAMA;
5. Bahwa Alih-alih menangkap AHOK yang secara nyata melakukan penistaan dan intoleran, rezim malah melakukan KRIMINALISASI terhadap HABIB RIZIEQ SHIHAB, ulama serta aktivis Islam lainnya, dengan menggiring opini seolah ulama dan ormas Islam lah yang intoleran dan anti kebhinekaan;
6. Bahwa sikap permusuhan terhadap ULAMA PEWARIS NABI merupakan salah satu ciri khas gerakan PKI, sehingga ini merupakan salah satu bukti KEBANGKITAN PKI yang merupakan BAHAYA LATEN bagi Indonesia.
Karena itu, DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA DAN DIDORONGKAN KEINGINAN LUHUR, Kami PEMUDA DAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA menyerukan:
1. Kepada Pemuda dan Mahasiswa Islam Indonesia agar memperkuat ukhuwah Islamiyyah, untuk terus melakukan PEMBELAAN terhadap ISLAM dan ULAMA PEWARIS NABI dari segala bentuk pembungkaman serta terus melakukan perlawanan kepada kedzaliman demi tegaknya SYARIAT Allah yang akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi Indonesia;
2. Kepada Pemuda dan Mahasiswa Islam Indonesia untuk menyatukan barisan, untuk menjaga Indonesia dari berbagai ancaman dan gangguan berbagai macam paham yang dapat merusak Aqidah Islamiyyah dan keutuhan Indonesia. Serta bahu membahu memperjuangkan tegaknya SYARIAH secara KAAFAH sebagai solusi atas bobroknya NEOLIBERALISME dan rezim yang mengkhianati rakyatnya;
3. Kepada pemegang kekuasaan, untuk bertaubat dan menghentikan politik adu domba serta berhenti menjadi KOMPRADOR ASING dan ASENG, juga menghentikan segala bentuk kebijakan dan tindakan yang memusuhi ajaran Islam dan Umat Islam.
4. Kepada seluruh elemen rakyat Indonesia untuk mewaspadai gejala gerakan KEBANGKITAN PKI yang secara nyata memusuhi para ULAMA PEWARIS NABI;
5. Kepada Seluruh elemen Bangsa Indonesia untuk menghidupkan PERADABAN DIALOG yang dapat mengikis kesalah-pahaman antara anak bangsa, sehingga dapat tercipta kedamaian dan toleransi.
Kami yang bersikap:
- PP Gema Pembebasan
- PP Front Mahasiswa Islam
-Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus Nasional
- PB Pemuda Al Irsyad
- Front Santri Indonesia
- LDK Alkaramah UIN Pekanbaru
- LDK BKLDK UHO
- LDK Kalam UPI Bandung
- LDK DKM UNPAD
- HATI ITB
- UKM LDK UMI
- LK Uswah UNHAS
- FRM UI
- Senat BSI Cimone Tangerang
- LDK Al Hijrah Teuku Umar
- LDK BDM AL- Hikmah UM
- Forum Pemuda Islam Bekasi
- MPM Universitas Haluoleo
- BEM UIR
- BEM Thabrani Riau
- BEM Fekon Universitas Riau
- BEM STIS Surabaya
- BEM PTDI
- BEM FAI Unismuh Palu

Teladan Rasul dalam Penempatan Kader Harakah


24 Januari 2014
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menempatkan setiap orang pada posisi yang layak dan sesuai untuknya. Dahulu, ketika Rasulullah hendak mengutus seseorang menjadi mata-mata pada malam peperangan Khandaq, beliau memilih di antara mereka dengan cara lembut dan bijaksana. Pertama kali beliau menawarkan tugas tersebut kepada semua sahabat yang ada di situ. Setelah tidak ada yang berdiri menyanggupi, barulah beliau memilih salah satu di antara mereka.
Tatkala beliau menawarkan; “Siapa yang mau pergi untuk mencari informasi mengenai kekuatan musuh untuk kami dan kemudian kembali lagi. Aku akan menjamin ia masuk surga”. Namun tak seorangpun beranjak dari tempatnya, padahal di antara mereka itu ada Abu Bakar dan ‘Umar. Kemudian beliau mengulangi lagi tawaran itu untuk yang kedua kali. Karena tidak ada lagi yang menyanggupi, maka beliau mengulangi untuk yang ketiga kalinya. Ketika beliau mendapati bahwa tiada alternatif lain kecuali menyebut nama salah satu di antara mereka, maka bersabarlah beliau: “Bangkitlah kau wahai Hudzaifah!” Hudzaifah bercerita: “Maka aku bangun, ketika itu aku memakai pakaian bulu milik istriku dan aku menggigil kedinginan. Kemudian aku berjalan, seolah-olah aku melangkah menuju kematian”.
Beliau memilih Sa’ad untuk memimpin pasukan, Mush’ab dipilihnya untuk tugas dakwah, Bilal dipilihnya untuk urusan adzan, Ubay dipilihnya untuk mengajarkan Al-Qur’an, adapun Hasan dipilihnya untuk bersya’ir. Beliau berkata kepada Hasan: “Bantah dan ejeklah mereka (dengan sya’irmu), sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) bersamamu”.
Tak pernah Nabi memilih Hasan untuk memimpin perang, dan tak pernah beliau memilih Sa’ad untuk bersya’ir. Dan beliau senantiasa menempatkan seseorang pada posisi yang tepat. Anda bisa membayangkan seandainya sahabat Ibnu Mas’ud yang beliau pilih sebagai komandan perang, atau sahabat Khalid beliau perintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Tak berbeda dengan Rasulullah, Abu Bakar juga memilih orang-orang yang paling beliau anggap tepat dalam mengemban sebuah amanah. Pemilihan Zaid bin Tsabit sebagai pengumpul Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang kebetulan. Pengalamannya menulis wahyu diiringi kecerdasan dan ketekunan serta sifat amanah membuat Abu Bakar yakin bahwa ia tidak sedang salah pilih. Abu Bakar berkata, “Engkau adalah pemuda yang jenius, berakal dan penuh amanah, dan engkau telah terbiasa menulis wahyu untuk Rasulullah, maka carilah seluruh ayat yang berserakan dan kumpulkanlah.”
Pengangkatan dan penunjukkan Khalid sebagai panglima tertinggi baik dalam peperangan melawan murtaddin maupun perluasan wilayah (terkhusus Iraq) juga bukan tanpa alasan. Allah telah mengkaruniakan kepada Khalid keberanian, penilaian yang cepat dan tepat, nekat, tak pernah mundur menghadapi bahaya, serta pandai mengelak dan menyerang dalam perang. Karenanya rasulullah menjulukinya sebagai Saifullah-“Pedang Allah”. Pengalamanya dalam berperang juga tak diragukan lagi. Maka pemilihan Khalid sebagai panglima tertinggi diharapkan mampu menyelesaikan target dengan baik.
Gerakan Islam dan Peletakan Individu Yang ‘Tepat’
Rasulullah dan para Khulafa’ terkhusus sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq mengajarkan kepada kita bahwa perjuangan iqamatuddin ini bukanlah pekerjaan satu atau dua orang personal tertentu. Perjuangan menegakkan agama ini adalah aktivitas yang harus dipikul oleh banyak individu yang memiliki keahlian di banyak bidang pula, yang kemudian haruslah terkoordinasi dengan baik dalam satu wadah organisasi.
Organisasi tadi bisa kita ibaratkan sebuah mobil, setiap bagiannya harus dalam kondisi ‘baik’ dan layak untuk digunakan menempuh perjalanan panjang perjuangan. Semakin baik dan berkualitas onderdil yang dipakai, semakin lancar perjalanan yang akan ditempuh. Kemudi yang baik, roda yang sesuai, body yang kuat, mesin yang prima, tidak ada kabel yang konslet, kaca spion dipastikan pada posisi yang pas, serta persiapan alat-alat bengkel sederhana adalah hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dan saat perjalanan.
Maka dalam organisasi ada personal yang mesti diletakkan pada posisi ‘kemudi’, ada yang berada pada posisi ‘ban’, ada yang harus menjabat sebagai ‘mesin’, ada pula yang menjadi ‘kaca’nya, begitu juga harus ada yang memerankan diri sebagai ‘knalpot’. Semuanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Satu bagian saja yang tidak bekerja dengan semestinya, akan berimplikasi kurang baik pada perjalanan yang ditempuh.
Begitu juga ketika sparepart-sparepart tadi tidak diletakkan sesuai dengan posisinya secara tepat. Knalpot yang semestinya ada di belakang justru diletakkan di bagasi, spion kanan dan kiri yang terbalik, penggunaan ban yang tidak sesuai medan perjalanan, kabel-kabel mesin saling terbalik dan tertukar, serta aki yang tidak diletakkan pada posisi yang tepat akan menghambat perjalanan, bahkan membawa kerusakan fatal pada mobil.
Maka pemimpin (dalam analogi di atas adalah si pemilik mobil) yang baik, harus tahu sesuatu sesuai dengan tempatnya, dan bukan asal pasang. Tidak ada pribadi yang tersia-siakan jika diletakkan pada tempat yang sesuai dengan kecenderungan, bakat, potensi, serta ‘minat dan ketertarikannya’. Peletakan individu sesuai ‘tipe dan kecenderungannya’ akan memaksimalkan fungsi, daya guna, serta hasil yang akan dicapai.
Pemimpin Harus Tahu ‘Spesialnya’ Setiap Anggota
“Every person is special”, setiap individu memiliki keunikannya masing-masing. Tidak ada dari milyaran manusia di bumi ini yang sama persis, semuanya punya kekurangan dalam sebagian sisi, dan kelebihan pada sisi yang lain. Maknanya, meski ada sebagian orang yang terlihat tidak memiliki kelebihan sama sekali, dibelakangnya Allah pasti menganugerahkan sesuatu yang ‘spesial’ kepada orang tersebut yang mungkin tidak dimiliki oleh pribadi-pribadi yang lain. Entah disadari atau tidak, inilah yang mampu ditangkap dan diaplikasikan secara baik oleh para pemimpin-pemimpin besar masa lalu.
Mereka yang berbakat menulis belum tentu pandai berceramah. Ada juga orang yang mampu berfikir secara logis dan tajam, namun kesulitan mendiskripsikanya pada orang lain. Mereka yang ahli dalam ilmu-ilmu syar’i belum tentu sanggup saat dituntut berbicara banyak tentang teknologi.Ada juga pribadi yang punya keahlian yang nampak remeh namun ternyata amat penting dan dibutuhkan, seperti memasak dan penataan kamera.
Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian oleh setiap pemimpin dan penanggung jawab. Bahwa setiap pribadi adalah ‘unik dan spesial’. Mengetahui ‘spesialisasi dan keunikan’ dari para anggotanya akan membantu seorang pemimpin meletakkan mereka sesuai dengan kapasitas dan kecenderungan yang mereka miliki. Dan hal ini akan berimplikasi besar pada hasil yang dicapai, dengan izin Allah
Penulis : Yunalul Murod Mahasiswa Ma’had Aly An-Nuur
Diambil dari: https://www.kiblat.net/2017/01/24/teladan-rasul-dalam-penempatan-kader-harakah/



Ulama, Pemimpin Sejati Umat Islam


24 Januari 2017
Aksi umat islam mengawal tegaknya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga hari ini masih terus berlanjut. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok itu memang sudah masuk dalam tahap pengadilan. Namun berbeda dengan kasus penistaan agama lainnya, kali ini entah kenapa kasus tersebut terlihat rumit bagi pengadilan untuk menyelesaikannya. Maka tak heran jika kemudian berujung menjadi polemik yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat.
Semestinya yang menjadi rujukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus penistaan agama adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sama seperti kasusnya Ahmad Musadeq, Arswendo, konser Lady Gaga, atau Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Semuanya diputuskan berdasarkan fatwa dari MUI. Namun dalam kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok ini, oleh pemerintah fatwa MUI tidak dianggap penting apalagi menjadi rujukan. Justru fatwa MUI tersebut dituduh sebagai pemecah belah bangsa.
Akhirnya, kasus ini pun seolah-olah menjadi tembok yang memisahkan antara barisan ulama dengan jajaran penguasa. Para ulama tetap konsisten dengan fatwanya yang dilandasi al-Qur’an dan as-Sunnah, sementara penguasa tetap keukeuh dengan segala kebijkan yang mereka ciptakan sendiri. Lalu bagaimana dengan rakyat, ke dalam barisan mana mereka harus berpihak?
Kedudukan Ulama di Mata Umat
Para ulama merupakan sosok yang menjadi representasi dari kebenaran sejati. Mereka adalah penyambung lidah para nabi yang mampu mengungkapkan makna agama yang hakiki. Menerangkan persoalan syariat sesuai dengan tuntunan ilahi.  Menjaga keutuhan agama dari penyelewengan para pembenci. Membimbing umat ke arah jalan yang Allah ridhai. Karena itulah, mereka layak mendapatkan kehormatan sebagai pewaris para nabi.
Di hadapan para ulama, umat Islam secara umum akan tunduk dan patuh dengan sepenuh hati. Kepatuhan yang tulus dan tidak dibuat-buat sama sakali. Mereka menaatinya karena dilandasi oleh kesadaran bahwa para ulama adalah rujukan dalam menerangkan agama ini. Agama yang menjadi bekal untuk meraih kebahagian hidup yang abadi.
Tentunnya yang dimaksudkan ulama di sini bukanlah para ilmuwan yang mencari sumber kehidupan dari kantong para penguasa, sehingga pendapatnya pun sering dipengaruhi oleh selera mereka. Tapi yang dimaksudkan di sini adalah para ulama yang rabbani,  yaitu mereka yang gerak dan pikirnya selalu disinari wahyu ilahi dan tuntunan para nabi. Pendapat dan sikapnya selalu konsisten, tidak pernah berubah karena rayuan ataupun ancaman dari siapa pun juga.
Ulil Amri = Ulama
Dalam islam, seorang pemimpin sering diistilahkan juga dengan ulil amri, yaitu orang yang memegang kendali urusan umat. Dalam Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Ketika menafsirkan makna ulil amri dalam ayat di atas, para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada empat pendapat utama yang mereka ungkapkan:
Pertama, makna ulil amri adalah umara’ atau para penguasa. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu Hurairah, Zaid ibnu Aslam, as-Suddiy, Muqatil dan Ibnu Abbas dalam satu riwayat. Kedua, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama (para ulama). Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas, Jabir ibnu Abdillah, Hasan Bashri, Abul Aliyah, Atho’, an-Nakha’i, adh-Dhahak dan Mujahid.
Ketiga, ulil amri adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Makna ini disimpulkan oleh Bakr ibnu Abdillah al-Muzanni dan Mujahid dalam salah satu riwayatnya. keempat, mereka adalah Abu Bakar dan Umar ibnul Khatthab; dan ini pendapat Ikrimah. (Ibnul Jauzi, Zadul-Masîr, 1/424; dan Tafsir al-Khazin, 1/392)
Jadi, salah satu makna ulil amri yang diungkapkan dalam tafsir di atas adalah para ulama. dan ini termasuk salah satu pendapat yang dikuatkan oleh kalangan jumhur. Karena itu, sebagian mufassir ketika memberi definisi ulil amri mereka langsung menyebutkan bahwa maknanya adalah para penguasa dan ulama. Ibnu Katsir misalnya, saat menafsirkan makna ulil amri dalam ayat di atas, beliau menyimpulkan bahwa, “Pendapat yang kuat dalam ayat tersebut adalah ulama dan penguasa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)
Dalam Fathul Qodir, Imam Asy-Syaukani juga menjelaskan, “Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Asy-Syaukani, Fathul Qadir: 1/556) Makna yag sama juga diungkapkan oleh sejumlah mufassir lainnya ketika mendefinisikan ulil amri.
Artinya, sosok ulama merupakan salah satu ulil amri yang memilki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat Islam. Sebutan ulil amri kepada  para ulama tidak lain karena mereka adalah sosok yang memiliki otoritas dalam mengurus persoalan umat terutama dalam urusan agama.
Ulama adalah pemimpin umat yang sesungguhnya
Dalam sejarah Islam, ulama memiliki posisi penting dalam pemerintahan. Mereka adalah para penasehat pimimpin yang berkuasa. Seorang pemimpin tidak bisa mengeluarkan kebijakan dengan tepat tanpa bermusyawarah dengan ulama. Kebijakan mereka akan berjalan efektif di tengah rakyat jika sesuai dengan arahan para ulama. Sebaliknya, ketika kebijakan tersebut berlawanan dengan arahan ulama maka bisa dipastikan tidak akan didengar oleh rakyat atau bahkan tidak ditaati sama sekali.
Dahulu, ketika Muawiyah bin Abu sofyan mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, ia memaksa seluruh rakyat untuk berbaiat kepadanya, baik dengan cara keras maupun lunak. Sehingga ia pun berhasil mewujudkan keinginannya. Namun begitu, ia masih memandang baiat ini masih seperti sandiwara. Sebab, selama ’abadillah (Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Amr bin ‘Ash) dan Hasan belum mau berbaiat kepadanya maka baiat tersebut tidak  berarti di hadapan umat.
Penyebab utamanya adalah mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tidak bisa dianggap enteng. Selain itu, mereka juga memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Oleh karena itu, Mu’awiyah pun memutar haluan dengan menggunakan siyasat yang didukung pedang.
Sebuah kebijakan pemimpin islam, ketika dirunut lebih jauh maka bisa dipastikan tidak lepas dari arahan para ulama. Meskipun tidak memiliki singasana kekuasaan, para ulama memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa umat islam. Mereka adalah pemegang kendali pergerakan umat. Kedudukan mereka di hati umat lebih tinggi daripada para pemimpin yang memegang kekuasaan. Setiap arahannya akan didengar dan diikuti sepenuh hati. Sementara perintah penguasa bisa saja diabaikan jika berlawanan dengan pandangan mereka.
Maka dalam dalam tatanan kehidupan sosial, para ulama memiliki fungsi ganda. Selain bertugas sebagai pemberi penjelasan dalam masalah agama, mereka juga bertanggung jawab memutuskan problematika hukum yang sehari-hari terjadi di tengah umat. Sedangkan tugas para penguasa sebenarnya hanyalah melaksanakan keputusan ulama yang mereka pandang lebih bermanfaat dalam kepemerintahannya, baik yang bersifat individu maupun kemasyarakatan.
Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan, “Kebijakan para pemimpin dan penguasa sangat bergantung pada fatwa dari para ulama. karena itu lah, para ulama bisa disebut juga sebagai penguasanya para pemimpin. Sehingga memasukkan para ulama ke dalam makna ulil amri tentu lebih utama.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, 5/250)
Bahkan dalam kitab Ghiyatsul Umam, Imam al-Juwaini menerangkan, “Jika yang menjadi ulil amri adalah seorang mujtahid maka pendapatnya harus diikuti, semua rakyat mengikuti ijtihadnya dan bukan dia yang mengikuti rakyat. Sementara jika seorang penguasa di suatu zaman tidak mencapai derajat mujtahid maka saat itu yang diikuti adalah para ulama, penguasa hanya mendukung ulama dengan kekuatan yang dimilikinya. Maka kedudukan antara penguasa dan ulama itu seperti seorang raja pada zaman nabi, dia harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh nabi.” (Al-Juwaini, Ghiyasul Umam, 1/380)
Ringkasnya, Tujuan kepemimpinan adalah untuk mengamalkan syariat secara kaffah. Maka sebuah konsekuensi logis bagi pemimpin adalah tidak memutuskan kebijakan yang bertentangan dengan petunjuk syariat. Sedangkan sosok yang paling berkompenten untuk menjelaskan aturan syariat adalah para ulama. Sehingga apapun kebijakan penguasa tentu tidak boleh lepas dari arahan mereka. Sebab, jika kebijakannya berlawanan dengan maksud syariat maka atas dasar apa rakyat harus menaatinya?
Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Sumber:     https://www.kiblat.net/2017/01/21/ulama-pemimpin-sejati-umat-islam/


Alat Pemersatu Itu Bernama Khilafah


24 Januari 2017
Sebatang lidi tidak akan ada artinya bagi tumpukan sampah yang menggunung. Sebatang lidi juga tidak akan sanggup membersihkan sampah di sekeliling kita ketika sendirian. Bahkan bukan tidak mungkin sebatang lidi akan patah bila dipaksa menjadi alat pembersih. Namun cerita akan jauh berbeda ketika batangan-batangan lidi itu dikumpulkan menjadi satu, lalu diikat di pangkalnya. Tenaga yang kecil dari sebatang lidi akan menjadi kekuatan yang besar bila menyatu dalam satu kesatuan yang terikat kokoh dengan kebersamaan. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, itulah filosofinya.
Kehidupan manusia dapat berjalan baik, sebagaimana sebuah sapu lidi, jika manusia mempererat ikatannya. Berlaku pula sebaliknya, ketika ikatan kendor maka musibah besar akan datang menimpa. Efek perpecahan kian terasa hari ini, yang paling nampak adalah umat terus-terusan menjadi ‘sasaran tinju’ lawan. Sebagian kalangan memandang fenomena ini sebagai sunatullah. Namun bukan berarti kita hanya bersila kaki menunggu keajaiban datang. Kita tetap tertuntut untuk mengupayakan persatuan.
Grand Desain Musuh Islam
Kondisi parah tersebut tidak lepas dari adanya konspirasi di tengah-tengah kaum muslimin. Musuh-musuh Islam sangat menyadari potensi perbedaan-perbedaan di tubuh umat ini, meskipun kebanyakan adalah perbedaan dalam masalah ijtihadiyah yang memang dibolehkan adanya silang pendapat di dalamnya.
Mereka memanfaatkan celah ini agar umat Islam tidak pernah dapat bersatu. Mereka menyadari dengan penuh kesadaran bahwa kaum muslimin tidak boleh dibangunkan dari tidur panjangnya, sehingga mereka terus berupaya membuat kaum muslimin sibuk bertengkar di kandang sendiri. Musuh-musuh Islam selalu memanfaatkan senjata pamungkas ini disetiap makan (tempat) dan zaman. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 120).
Imam Qatadah ketika menafsirkan ayat tersebut berkata, “Apabila mereka melihat para pemeluk Islam bersatu, berjama’ah dan menang atas musuhnya, itu menjadikan mereka marah dan tersakiti. Namun apabila mereka melihat para pemeluk Islam berpecah belah dan berselisih, atau ada diantara pemeluknya yang tertimpa musibah, mereka sengan, bangga, dan gembira.” (Tafsir ath-Thabari, 7/155-156).

Senjata Utama Setan
Bukan hanya musuh dari kalangan manusia saja yang bekerja keras menjauhkan umat dari persatuan, setan pun setali tiga uang, ia membantu orang-orang kafir serta munafik dalam permainan cantik mereka memecah belah umat. Terkadang mereka yang terlalu fanatik dengan wadah tempat mereka berkumpul lupa akan tipu daya syaitan ini, kalaupun ada yang mengingatkan langsung dihujani pandangan tajam plus sinis.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan sudah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat (kaum muslimin). Namun ia tidak putus asa untuk mengadu domba mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1937).
Imam An-Nawawi berkata, “Syaitan berusaha mengadu domba di antara orang-orang yang beriman dengan permusuhan, kebencian, peperangan, fitnah, dan yang semisalnya.” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, 17/156).
Kenyataan Pahit dan Menyedihkan
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad berkata, “Termasuk perkara yang sangat disayangkan terjadi di zaman ini adalah apa-apa yang terjadi di kalangan Ahlus Sunnah, berupa ketidakcocokan dan perpecahan, yang mengakibatkan mereka sibuk saling memelukai, men-tahdzir, dan meng-hajr. Yang wajib mereka lakukan adalah usaha mereka diarahkan kepada selain mereka, dari kalangan orang-orang kafir dan ahli bid’ah yang memusuhi Ahlus Sunnah. Hendaknya Ahlus Sunnah bersatu, saling menyayangi, dan saling mengingatkan di antara mereka secara halus dan lembut.” (Rifqan Ahlu as-Sunnah bi Ahli as-Sunnah, hlm. 19).
Sibuknya umat pada persoalan-persoalan khilafiyah terus mendapat tambahan bumbu dari dapur orang kafir. Padahal kalau berfikir jernih tanpa perlu berletih, yang namanya perbedaan pendapat dalam urusan agama sudah ada sejak generasi terbaik umat ini; para sahabat. Qunut tidak qunut, keras atau pelan dalam basmalah, goyang atau diamnya telunjuk dalam tasyahud, semuanya sesuatu yang lumrah ada silang pendapat, karena dari para guru kita sampai ke generasi salaf pun demikian adanya.
Letak celanya bukan pada perbedaan di atas, namun sikap kepada pengambil pendapat lain lah yang tak santun dan belum terkontrol. Akan lebih enak dipandang ketika kita menelanjangi ideologi musuh, daripada terus membully kawan seiman.
Kita hidup pasti tetap punya belang yang mungkin hanya bisa tertambal oleh kawan kita. Sang teman juga tentu tak lepas dari noda, mungkin kita lah yang bisa membantu membersihkannya. Begitupula dalam bermasyarakat, berorganisasi atau berlembaga, kita tak bisa hidup sendiri sehebat apapun kemampuan yang dimiliki, tetapi kita membutuhkan satu sama lain.
Hilangnya Sang Nahkoda
Terjadinya perpecahan akibat perbedaan pandangan di tengah-tengah kaum muslimin bukan hal baru. Sehingga para penguasa republik ini pun sudah pasti tahu, hanya saja sebagaimana negara-negara sekuler, dimana negara dan agama adalah hal yang terpisah dan tidak boleh disatukan, maka ketidakpedulian penguasa wajar adanya. Akibatnya, kaum muslimin diminta untuk menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa kehadiran penguasa di dalamnya, aneh memang, jika demikian prinsipnya, lalu apa gunanya penguasa?
Kesendirian umat dalam menghadapi bejibun persoalan akhir-akhir ini semakin terpupuk oleh semangat Bela Qur’an. Namun harus kita sadari bahwa kepedulian yang hanya bersifat individu, atau kelompok tidak akan menyelesaikan masalah. Ibarat sebuah kapal yang berlubang, maka air masuk dan kita berusaha mengeluarkannya dengan kemampuan masing-masing. Yang punya ember, bantuannya lebih besar, yang punya gayung dengan gayung yang ada, yang tidak punya apa-apa maka hanya dengan cidukan kecil tangannya.
Semua itu hanya untuk bertahan agar kapal tidak tenggelam. Sementara musuh-musuh Islam terus berusaha melubangi kapal. Yang seharusnya kita lakukan adalah memperbaiki kapal, menambal lubang dan menguatkannya, sehingga kapal beserta seluruh penumpangnya bisa berlayar meninggalkan musuh di belakang atau bahkan menghabisinya.
Umat Butuh Penuntun dan Pelindung
Saat ini, kaum muslimin tidak punya sebuah kapal yang kuat. Kita terombang-ambing di dalam sampan-sampan kecil yang minim kekuatan. Kebanyakan sampan pun masih berlubang. Kaum muslimin memerlukan satu bahtera untuk berlayar bersama di bawah satu nakhoda. Kita memerlukan kekhilafahan, yang mampu mengayomi muslim sedunia.
Rasulullah bersabda,
الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Seorang imam (khalifah) adalah tameng atau perisai, dimana di belakangnya umat berperang, dan kepadanya umat berlindung.” (HR. Bukhari no. 2957).
Ketika ada satu wilayah Islam yang diserang oleh kaum Kafir, maka ibarat tubuh, wilayah yang lain pun dengan cepat membantunya. Saat Perang Salib di Palestina, Shalahuddin al-Ayyubi datang dari Mesir untuk membebaskan wilayah tersebut (1187 M). Yusuf bin Tasifin juga melakukan hal yang sama, ketika kaum Salibis menduduki Andalusia, Spanyol (1109 M). Bahkan Khilafah juga melindungi pemeluk agama lain. Ketika orang-orang Yahudi terpaksa mengungsi akibat praktek inkuisisi yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Spanyol pada abad ke-15, mereka mendapat perlindungan dari Khalifah Bayazid II.
Selain sebagai pengayom dan pelindung rakyat, Khalifah juga sebagai pemersatu ketika ada perbedaan pendapat yang bisa menjurus kepada pertikaian. Dalam sebuah kaidah disebutkan,
أَمْر الإِماَمِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ
“Pendapat imam menjadi juru putus ketika terjadi perselisihan.”

Dukungan Umat Untuk Mewujudkannya
Keberadaan Khilafah Islamiyah bagaikan payung yang melindungi dari sengat matahari dan derasnya air hujan. Jika Khilafah Islam tegak maka ia berpotensi menyatukan 1,4 miliar umat Islam di seluruh dunia; menghimpun sebagian besar kekayaan sumber daya alam yang umumnya dimiliki negeri-negeri Islam; bahkan menggalang kekuatan militer dalam jumlah amat besar.
Potret masa depan umat Islam inilah yang tidak dikehendaki oleh Barat. Sebab, mereka sadar, jika Khilafah tegak dan mempersatukan umat Islam sedunia, dominasi dan penjajahan mereka akan segera berakhir. Tersebab itu, umat Islam harus sadar bahwa perpecahan sejak awal memang menjadi cita-cita kaum penjajah Barat dan mereka akan terus membuat skenario untuk memeliharanya. Salah satunya adalah dengan terus-menerus memojokkan ide Khilafah sekaligus memerangi kaum Muslimin yang berjuang untuk menegakkan cita-cita tersebut.
Oleh karena itu, umat harus sadar, Khilafah adalah kunci persatuan umat Islam sedunia. Khilafah pula yang bakal menegakkan agama Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan, yang tentu bakal menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Walhasil, penting bagi setiap muslim untuk terus menyuarakan persatuan umat Islam. Namun, lebih penting lagi umat ini untuk terus menyuarakan, bahwa persatuan umat Islam sedunia tak akan pernah benar-benar bisa terwujud, kecuali dalam satu kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.
Penulis: Abu Absi / Yanisari Teams
Editor : Arju
Sumber:
https://www.kiblat.net/2017/01/22/alat-pemersatu-itu-bernama-khilafah/

Sabtu, 21 Januari 2017

Stop Kriminalisasi Ulama!


21 Januari 2017
Menguatnya peran ulama di tengah masyarakat pasca aksi 411 dan 212 tak pelak membuat berbagai kalangan yang kepentingannya terganggu kalang-kabut. Kini, muncul berbagai kriminalisasi terhadap para ulama yang merupakan tokoh di balik berbagai aksi yang menguatkan nilai keberislaman masyarakat.
Di Sintang, Kalimantan Barat, KH Tengku Zulkarnaen, Wakil Sekjen MUI Pusat, yang memenuhi undangan resmi Bupati Sintang, tiba-tiba dihadang oleh kelompok tertentu sambil mengacung-acungkan senjata tradisional di apron Bandara Sintang ketika hendak turun dari pesawat terbang.
KH Habib Rizieq Shihab terus-menerus dicari-cari kesalahannya. Beliau antara lain diminta untuk memenuhi panggilan Polda Jabar atas kasus yang diada-adakan. Saat pemeriksaan, terjadi kasus penyerangan FPI yang mengawal kehadiran Habib Rizieq Shihab oleh GMBI yang diduga kuat dihadirkan oleh Kapolda Jabar.
Jika bukan kriminalisasi terhadap ulama, lalu bagaimana bisa kelompok yang melakukan tindakan anarkis itu masuk apron bandara bahkan bawa senjata? Itu hanya mungkin terjadi jika ada pembiaran oleh polisi. Polisi tahu bahwa Ustadz Tengku itu akan datang jam itu dengan pesawat tersebut. Alhasil, di sini yang disebut gabungan antara kekuasaan legal, intelijen dan akses kepada kelompok-kelompok anarkis sangat nyata.
Lalu terkait kasus penyerangan FPI oleh GMBI di Bandung, bagaimana juga kekerasan itu bisa terjadi tak jauh dari Mapolda Jabar. Yang lebih mengherankan adalah respon setelah itu. Alih-alih korban dilindungi, justru malah dipersalahkan. Sebaliknya, pihak yang melakukan kekerasan malah dilindungi dan dijenguk Polisi. Lalu disebarkan melalui akun resmi Humas Polri bahwa GMBI adalah korban dari anarkisme FPI. Padahal faktanya, FPI yang diserang GMBI.
Jubir HTI Ustadz Ismail Yusanto mengkhawatirkan bahwa semua itu bisa terjadi karena ada kolaborasi kekuatan legal, intelijen dan anarkis. Ia mempertanyakan, bagaimana negara ini memiliki aparat kepolisian yang begini rupa. Ini sangat berbahaya karena akan memperuncing pertentangan antarkelompok dan konflik horisontal. Menurut Ismail, ini merupakan aksi balas dendam akibat terganggunya kepentingan asing, aseng dan asong pasca penistaan agama yang dilakukan Ahok. Pasalnya, ini semua terjadi setelah Aksi 212. Aksi 212 itu kan aksi super damai. Semestinya semua orang bergembira. Namun, nyatanya ada yang berduka dan geram karena kok damai sehingga mereka tidak punya alasan untuk memojokkan umat Islam, khususnya para ulamanya.
Di belakang Ahok ini ada kepentingan politik besar yang terkait dan berkelindan dengan kepentingan bisnis. Bisnis tersebut terkait dengan pejabat. Di situ ada korupsi dan kolusi sebagaimana tampak pada kasus Reklamasi dan Sumber Waras yang kasusnya terus diulur-ulur oleh KPK. Namun, ketika Ahok menista agama, aparat sudah tidak bisa berkelit lagi karena umat Islam marah. Puncaknya terjadi Aksi 212. Jadi tampak sekali, dan sangat menyedihkan, aparat hukum menjadi alat politik jahat dari kelompok tertentu.
Kemuliaan Ulama
Ulama adalah sosok mulia karena merupakan pewaris para nabi. Rasulullah saw. bersabda:
«وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu berarti telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna (HR Abu Dawud).
Sebagai pewaris nabi, kemuliaan para ulama adalah karena mereka menempuh jalan sebagaimana Rasulullah saw.; tak kenal lelah membacakan ayat-ayat-Nya dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Mereka pantang menyerah meskipun harus menghadapi beragam risiko.
Para pewaris para nabi itu juga mengikuti jejak Rasulullah saw. dalam membersihkan masyarakat dari berbagai kekufuran dan kemaksiatan. Dengan ilmu yang dimiliki, mereka dapat menjelaskan kesesatan dan kerusakan berbagai pemikiran kufur seperti komunisme, sekularisme-kapitalisme, pluralisme, HAM dan lain-lain. Dengan penjelasan itu, masyarakat bisa terselamatkan dari ragam pemikiran kufur itu. Dalam menghadapi kemungkaran dan kemaksiatan, mereka pasti memilih berada di garda depan. Mereka tidak rela jika ada hukum Islam diabaikan, apalagi dilecehkan. Mereka akan memimpin umat berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Sebab, hanya dengan diterapkan syariah dan ditegakkan Khilafah, masyarakat benar-benar bisa diproteksi dari ide sesat, kemungkaran dan perangai tercela.
Ulama pewaris para nabi itu juga rajin mengajarkan al-Quran dan as-Sunnah. Dalam perkara hukum, mereka bersikap tegas. Apa pun status hukum yang berasal al-Quran dan as-Sunnah akan disampaikan. Mereka tidak akan menjual ayat-ayat Allah SWT demi memperoleh harta dunia.
Patut ditegaskan, dalam melakukan semua aktivitas itu ulama pewaris nabi didorong oleh keikhlasan, semata-mata hanya karena mencari ridha Allah SWT. Sebab, mereka adalah hamba-hamba yang takut kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (QS Fathir [35]: 28).
Peran Politik Ulama
Kemuliaan ulama tentu tidak terlepas dari peran politik yang mereka lakukan. Tentu bukan politik praktis dengan mendukung atau tidak mendukung calon tertentu dalam kegiatan politik praktis seperti Pilkada, namun politik sebagai ri’âyah su’ûn al-ummah (melayani urusan masyarakat). Politik adalah aktivitas tertinggi dan mulia dalam kehidupan manusia. Karena itu peran ulama sepanjang masa kehidupan kaum Muslim, khususnya dalam kehidupan politik, sangatlah penting.
Islam adalah agama sempurna. Politik adalah bagian dari Islam. Islam tidak memisahkan antara kehidupan politik dan spiritual. Justru, ketika umat jatuh dalam kubangan sekularisme (yang menjauhkan agama dari urusan sosial-politik-kenegaraan) seperti saat ini, maka peran para ulama turut terpinggirkan.
Peran politik ulama dapat dilakukan dengan cara: Pertama, membina umat dengan pemahaman Islam yang sahih. Dengan itu muncul umat yang memiliki kepribadian Islam dan menjadi para pembela Islam dari berbagai kemaksiatan dan kemungkaran di tengah masyarakat.
Kedua, membangun kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu membangun kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusan mereka dengan syariah Islam. Umat harus peduli terhadap urusan kemasyarakatan bahkan kenegaraan. Mereka harus memahami berbagai konspirasi musuh-musuh Islam yang senantiasa mencari jalan untuk menghalangi Islam tegak di muka bumi ini.
Ketiga, mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan, “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataan mereka pun membekas di hati. Sayang, sekarang terdapat penguasa yang zalim, namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 7/92).
Jelaslah, ulama memang seharusnya menjalankan politik Islam, yaitu mengurusi urusan masyarakat dengan Islam. Tugas politik ulama adalah mencerdaskan rakyat dengan Islam. Dengan begitu rakyat tidak mudah tertipu dengan bujuk rayu orang-orang zalim. Dengan kiprah politik ulama, rakyat akan terbina dengan baik serta akan memiliki kesadaran politik Islam hingga mereka akan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat.
Umat Membutuhkan ’Ulama Akhirat’
Umat hari ini merindukan sosok ulama yang ikhlas berjuang dengan pengorbanan maksimal agar bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliah modern, derita dan nestapa dalam kerangkeng sistem sekular-liberal; menuju cahaya Islam dalam wujud masyarakat dan negara yang bersyariah, yang berjalan di atas hidayah Islam. Itulah masyarakat dan negara yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah beliau.
Kewajiban terbesar umat Islam hari ini adalah mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat dengan menegakkan seluruh syariah Allah SWT. Sebaliknya, kemungkaran terbesar yang wajib ditumbangkan saat ini adalah sistem thâghût yang menerapkan hukum-hukum kufur buat manusia. Itulah sistem sekular yang tengah berlangsung saat ini.
Karena itu saat ini umat benar-benar membutuhkan ’ulama akhirat’ yang bisa membimbing mereka untuk kembali pada Islam secara kâffah sambil terus-menerus memberikan dorongan dan dukungan terhadap perjuangan ke arah penegakkan syariah Islam. Umat membutuhkan ulama yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. dalam mewujudkan masyarakat islami, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan, dalam Daulah Khilafah. Hanya dengan itulah cita-cita umat mewujudkan baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr akan benar-benar terwujud, insya Allah. [] https://hizbut-tahrir.or.id/2017/01/21/stop-kriminalisasi-ulama/