Syurtoh (Aparat polisi) dalam perspektif Islam
Kata polisi atau aparat keamanan dalam bahasa Arab disebut
Syurtoh/syurthi. Lafaz ini sudah dikenal sejak zaman nabi Muhammad
-shallallahu alaihi wasallam-. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik di dalam Shohih Bukhori :
إِنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ كَانَ يَكُونُ بَيْنَ يَدَيِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِمَنْزِلَةِ صَاحِبِ
الشُّرَطِ مِنَ الأَمِيرِ
Artinya :
“Sesungguhnya Qais bin Sa’ad berada di sisi Nabi SAW seperti kepala polisi di sisi pemimpin (raja).” (HR Bukhori)
Apa maksud kata
syurthoh yang disebutkan di dalam hadits di atas? Di dalam kamus
lisanul Arab
ada begitu banyak makna dari kata tersebut, di antaranya adalah kaki
tangan penguasa, mereka dinamakan syurthoh, karena mereka mereka
memiliki ciri khusus yang dengannya mereka dapat diidentifikasi.
(lihat Lisanul Arab 7/39)
Adapun secara Istilah makna
syurthoh adalah aparat yang
diandalkan oleh khalifah atau gubernur dalam menjaga keamanan dan
pemerintahan, menangkap pelaku kriminal dan tugas-tugas administratif
lainnya yang menjamin keamanan dan ketentraman rakyat.
(Tarikhul Islam As Siyasi wad Dini wa Tsaqofi wal Ijtima’i 1/460)
Setelah menyimak penjelasan makna kata
syurthoh (polisi) di
atas, setidaknya kita memiliki gambaran tugas apa yang dilakukan oleh
sahabat Qais in Sa’ad. Selain Qais bin Sa’ad ada pula beberapa sahabat
yang bertugas menjaga nabi Muhammad
-shallallahu alaihi wasallam-. Di antaranya adalah Sa’ad bin Muadz, beliau menjaga nabi
-shallallahu alaihi wasallam- saat perang Badar, Muhammad bin Maslamah menjaga nabi
-shallallahu alaihi wasallam- saat perang Uhud, Zubair bin Awam menjaga beliau saat perang Khondaq dan beberapa lainnya.
(Zaadul Ma’ad 1/127)
Di dalam Islam, negara memiliki kewajiban yang sifatnya fardu kifayah
untuk mewujudkan lembaga kepolisian guna menjalankan tugas-tugas
keamanan dalam Islam. Di antara tugas-tugas utama lembaga tersebut
adalah untuk menjaga keamanan dan ketentraman rakyat, menjaga kenyamanan
masyarakat dalam menjalankan ibadah, memotong tangan pencuri, merajam
pelaku zina, melaksanakan hukum qishas, mendera para pemabuk dan
tugas-tugas penerapan syariat Islam lainnya.
Abul Hasan As Sanadi Al-Madani di dalam
Hawasyi (sejenis syarh) Musnad Imam Ahmad berkata,
“Syuroth
adalah bentu jamak dari kata syurthi (polisi) mereka adalah kaki tangan
penguasa untuk memantau kondisi masyarakat, menjaga mereka dan juga
bertugas untuk menegakkan hudud (hukum pidana Islam).” (At-Tarotiibu Al Idariyah 1/22)
Di dalam
Ma’atsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah juga
disebutkan bahwa tugas polisi adalah membungkam orang bodoh, membuat
jera orang sesat, menyelidiki orang jahat, mengejar pelaku kriminal,
mencari tempat persembunyian mereka, menyelidiki rahasia mereka,
melakukan pembuktian terhadap orang-orang yang mereka tangkap,
menerapkan hukum-hukum Allah yang sesuai dengan pelanggaran yang mereka
lakukan.
(Maatsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah 3/23)
Dari pemaran di atas setidaknya ada 3 tugas besar polisi dalam
perspektif Islam. Pertama, menjaga keamanan masyarakat, termasuk di
dalamnya keamanan sang khalifah. Kedua, menangkap para pelanggar syariat
Allah apapun itu bentuknya. Ketiga, menghukum para pelanggar syariat
dengan hukuman yang telah ditentukan oleh syariat.
Sifat Polisi Menurut Para Ulama
Melihat peran vital polisi dalam menjaga syariat Islam, maka kriteria
untuk bisa menjadi polisi tidaklah sederhana. Di dalam kitab
Bada’ius Silki fi Thobai’il Mulki, Ibnul Azraq berkata,
“Wajib
bagi Imam untuk memilih polisi dari kalangan orang yang tsiqoh
(terpercaya) agamanya, tegas dalam membela kebenaran dan hudud (hukum
pidana Islam), pintar strategi dan tidak mudah dibodohi.” (Bada’ius Silki fi Thobai’il Mulki 1/60)
Di dalam nukilan di atas setidaknya disebutkan 3 sifat yang mesti dipenuhi oleh seorang polisi. Pertama adalah sifat
tsiqah dalam agama.
Tsiqah beragama maksudnya, dia merupakan orang yang senantiasa menjauhi dosa-dosa, baik besar maupun kecil, menjaga
muru’ah (kehormatan) serta menjaga hal-hal yang wajib dan sunnah. Karena seorang yang
tsiqah dalam beragama niscaya dia akan menghadirkan
muroqobah Allah dalam setiap tindakannya.
Layaknya seorang perawi hadits yang harus
tsiqah, sifat
tsiqah
juga harus menjadi sifat dasar seorang polisi. Karena kedua-duanya
memiliki kesamaan tugas dalam menjaga agama. Perawi menjaga hadits
sebagai sumber agama, sementara polisi menjaga penerapan agama dalam
sendi-sendi kehidupan.
Sifat yang kedua adalah tegas dalam membela kebenaran dan menegakkan
hudud.
Sudah maklum adanya bahwa di dalam Islam Negara sudah seharusnya
berhukum dengan syariat Islam, yang mana Al-Quran dan Sunnah menjadi
standar kebenaran itu sendiri. Di samping itu konsekuensi dari
menjadikan syariat sebagai standar kebenaran adalah menerapkan hudud
guna menjaga keamanan dan ketentraman umat.
Oleh karena urgennya hal tersebut, maka seorang polisi harus memiliki
komitmen yang tinggi terhadap syariat. Baik yang sifatnya ritual,
maupun non ritual. Jauh panggang dari api rasanya jika seorang polisi
tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menerapkan syariat islam dan
hudud. Pastinya akan banyak terjadi penyelewengan fungsi di tengah
bertugas.
Sifat ketiga adalah cerdik dan lihai dalam strategi. Sifat ini jelas
diperlukan oleh polisi, karena dalam menjaga kemanan dan ketentraman
umat, polisi sering menghadapi para penjahat yang licik dan lihai
berstrategi. Untuk itu diperlukan pula kecerdesan dan kecerdikan guna
mematahkan tipu daya mereka.
Ibnul Qayyim dalam Thuruq Hukmiyah dalam konteks menjelaskan
kecerdasan yang harus dimiliki polisi, beliau menukil sebuah kisah,
“Suatu ketika diserahkan 2 orang yang tertuduh mencuri kepada kepala
polisi, kemudian beliau minta dibawakan segelas air, lantas beliau
menjatuhkannya dengan segaja. Yang satu gemetar takut, sementara yang
lainnya diam tak bergerak. Kemudian beliau berkata kepada yang
ketakutan, “Silahkan pergi.” Sementara kepada orang yang tak bergeming
beliau berkata, “Serahkan uang yang kau curi.”
Kemudian beliau ditanya, “Kenapa anda bisa tahu?” beliau menjawab,
“Pencuri itu hatinya keras, maka dia tidak akan bergeming, sementara
orang baik, jika seekor tikus bergerak di rumah dia akan terperanjat
sehingga dia tidak jadi mencuri.”
Masih mengenai sifat polisi, Ibnu Farihun dalam Kitab Tabshiratul
Hukkam, “Suatu ketika Imam Malik ditanya tentang seorang polisi yang
diajak orang untuk menggrebek sebuah rumah yang isinya orang sedang
minum minuman keras? Jika rumah tersebut sebelumnya dikenal dengan rumah
baik-baik (tidak pernah digunakan untuk pesta miras) maka hendaknya
polisi tersebut tidak mengikuti ajakan tersebut. Jika rumah tersebut
terkenal dengan tempat minum khamr maka hendaklah dia ikut.”
Perkataan di atas menunjukkan sifat kehati-hatian yang harus dimiliki
oleh seorang polisi. Lebih jauh lagi seharusnya seorang polisi menjauhi
kondisi-kondisi dan tempat-tempat yang membuat orang bersuudzon
kepadanya. Berbagai sifat-sifat yang disebutkan di atas merupakan sifat
dasar yang tidak boleh dilupakan oleh seorang Imam dalam memilih polisi.
Polisi Akhir Zaman
Berbeda dengan pemaparan di atas yang memberikan gambaran ideal
seorang polisi dalam perspektif Islam, di lain sisi ada hadits Nabi
-shallallahu alaihi wasallam- yang berisi ancaman kepada polisi di akhir zaman. Di antaranya hadits-hadits tersebut adalah :
سيكون في آخر الزمان شرطة يغدون في غضب الله ، و يروحون في سخط الله
Artinya, “Akan ada di akhir zaman nanti para polisi yang
berangkat di pagi hari membawa murka Allah dan pulang di sore hari
membawa kemarahan dari Allah.” (HR Thobroni)
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صنفان
من أهل النار لم أرهما: قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس،
ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة، لا يدخلن
الجنة ولا يجدن ريحها، وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذا وكذا (رواه مسلم)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam- bersabda, “ada dua golongan dari penduduk neraka yang
belum pernah saya melihatnya. Suatu kaum yang membawa cemeti seperti
ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia dan para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, melenggak-lenggok dan kepala mereka seperti
punuk unta. Mereka tidak masuk surge dan tidak akan mencium wanginya,
padahal wanginya tercium dari jarak segini dan segini.” (HR Muslim)
Mengomentari hadits di atas Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata,
“Hadits
ini adalah salah satu bentuk mukjizat nabi dan apa yang telah
disampaikan nabi -shallallahu alaihi wasallam- telah terjadi. Adapun
yang dimaksud dengan pembawa cemeti adalah pasukan kepala polisi dan
yang sejenisnya.” (Syarh Shohih Muslim 17/190)
Di dalam hadits lainnya Rasulullah
-shallallahu alaihi wasallam- bersabda :
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يوشك
إن طالت بك مدة أن ترى قوما في أيديهم مثل أذناب البقر يغدون في غضب الله
ويروحون في سخط الله
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Jika umurmu panjang, maka kamu akan mendapati suatu kaum yang di tangan
mereka alat seperti ekor sapi, mereka di pagi hari berangkat dengan
murka dari Allah dan pulang di mala hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR Muslim)
Tiga hadits di atas menjelaskan tentang tercela dan terlaknatnya
polisi di akhir zaman, apa sebab? Hal ini dijelaskan oleh Qadhi Iyad,
beliau berkata,
“Mereka dimasukkan ke dalam neraka
kemungkinan karena kezaliman, penyiksaan yang mereka lakukan dan
kesemena-menaan terhadap manusia dengan memukul menggunakan cemeti dan
sejenisnya. Bisa juga mereka dimasukkan ke dalam neraka karena
kemaksiatan yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka, seperti kekufuran
dan selainnya.” (Ikmalul Muallim Syarh Shohih Muslim 6/332)
Penulis kitab Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata,
“Mereka
adalah orang-orang yang berada di sekitar orang-orang zalim, bekerja
kepadanya laksana serigala dan mereka mengusir manusia dari orang zalim
itu dengan menggunakan pukulan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih 6/2301)
Dari dua nukilan di atas bisa disimpulkan bahwa hadits-hadits yang
menjelaskan buruknya polisi di akhir zaman lebih karena berdirinya
mereka dalam membela para tiran nan zalim. Pembelaan mereka terhadap
tiran nan zalim menjadikan mereka meninggalkan nilai-nilai agama,
melupakan tugas asal mereka dalam mengawal syariat Islam dan keamanan
umat.
Pembelaan terhadap para tiran pulalah yang kadang membuat mereka tega
menghilangkan nyawa muslim, menyiksa dan memenjarakan orang-orang yang
dianggap mengganggu sang tiran. Kiranya inilah yang menjadikan mereka
terlaknat sepanjang hari dan diancam neraka oleh Rasulullah
-shallallahu alaihi wasallam-.
Pada dasarnya profesi sebagai polisi berpotensi menjadi sarana
ketaatan kepada Allah seperti yang dilakukan oleh ‘polisi-polisi’
Rasulullah
-shallallahu alaihi wasallam-. Namun, jika tidak berhati-hati juga berpotensi menyeret seseorang ke dalam neraka sebagaimana ramalan Rasulullah
-shallallahu alaihi wasallam-terhadap polisi akhir zaman.
Penulis : Miftahul Ihsan
Editor : Arju
Diambil dari:
https://www.kiblat.net/2017/01/24/tipologi-polisi-dahulu-dan-akhir-zaman/