Senin, 23 Januari 2017

Ulama, Pemimpin Sejati Umat Islam


24 Januari 2017
Aksi umat islam mengawal tegaknya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga hari ini masih terus berlanjut. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok itu memang sudah masuk dalam tahap pengadilan. Namun berbeda dengan kasus penistaan agama lainnya, kali ini entah kenapa kasus tersebut terlihat rumit bagi pengadilan untuk menyelesaikannya. Maka tak heran jika kemudian berujung menjadi polemik yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat.
Semestinya yang menjadi rujukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus penistaan agama adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sama seperti kasusnya Ahmad Musadeq, Arswendo, konser Lady Gaga, atau Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Semuanya diputuskan berdasarkan fatwa dari MUI. Namun dalam kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok ini, oleh pemerintah fatwa MUI tidak dianggap penting apalagi menjadi rujukan. Justru fatwa MUI tersebut dituduh sebagai pemecah belah bangsa.
Akhirnya, kasus ini pun seolah-olah menjadi tembok yang memisahkan antara barisan ulama dengan jajaran penguasa. Para ulama tetap konsisten dengan fatwanya yang dilandasi al-Qur’an dan as-Sunnah, sementara penguasa tetap keukeuh dengan segala kebijkan yang mereka ciptakan sendiri. Lalu bagaimana dengan rakyat, ke dalam barisan mana mereka harus berpihak?
Kedudukan Ulama di Mata Umat
Para ulama merupakan sosok yang menjadi representasi dari kebenaran sejati. Mereka adalah penyambung lidah para nabi yang mampu mengungkapkan makna agama yang hakiki. Menerangkan persoalan syariat sesuai dengan tuntunan ilahi.  Menjaga keutuhan agama dari penyelewengan para pembenci. Membimbing umat ke arah jalan yang Allah ridhai. Karena itulah, mereka layak mendapatkan kehormatan sebagai pewaris para nabi.
Di hadapan para ulama, umat Islam secara umum akan tunduk dan patuh dengan sepenuh hati. Kepatuhan yang tulus dan tidak dibuat-buat sama sakali. Mereka menaatinya karena dilandasi oleh kesadaran bahwa para ulama adalah rujukan dalam menerangkan agama ini. Agama yang menjadi bekal untuk meraih kebahagian hidup yang abadi.
Tentunnya yang dimaksudkan ulama di sini bukanlah para ilmuwan yang mencari sumber kehidupan dari kantong para penguasa, sehingga pendapatnya pun sering dipengaruhi oleh selera mereka. Tapi yang dimaksudkan di sini adalah para ulama yang rabbani,  yaitu mereka yang gerak dan pikirnya selalu disinari wahyu ilahi dan tuntunan para nabi. Pendapat dan sikapnya selalu konsisten, tidak pernah berubah karena rayuan ataupun ancaman dari siapa pun juga.
Ulil Amri = Ulama
Dalam islam, seorang pemimpin sering diistilahkan juga dengan ulil amri, yaitu orang yang memegang kendali urusan umat. Dalam Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Ketika menafsirkan makna ulil amri dalam ayat di atas, para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada empat pendapat utama yang mereka ungkapkan:
Pertama, makna ulil amri adalah umara’ atau para penguasa. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu Hurairah, Zaid ibnu Aslam, as-Suddiy, Muqatil dan Ibnu Abbas dalam satu riwayat. Kedua, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama (para ulama). Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas, Jabir ibnu Abdillah, Hasan Bashri, Abul Aliyah, Atho’, an-Nakha’i, adh-Dhahak dan Mujahid.
Ketiga, ulil amri adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Makna ini disimpulkan oleh Bakr ibnu Abdillah al-Muzanni dan Mujahid dalam salah satu riwayatnya. keempat, mereka adalah Abu Bakar dan Umar ibnul Khatthab; dan ini pendapat Ikrimah. (Ibnul Jauzi, Zadul-Masîr, 1/424; dan Tafsir al-Khazin, 1/392)
Jadi, salah satu makna ulil amri yang diungkapkan dalam tafsir di atas adalah para ulama. dan ini termasuk salah satu pendapat yang dikuatkan oleh kalangan jumhur. Karena itu, sebagian mufassir ketika memberi definisi ulil amri mereka langsung menyebutkan bahwa maknanya adalah para penguasa dan ulama. Ibnu Katsir misalnya, saat menafsirkan makna ulil amri dalam ayat di atas, beliau menyimpulkan bahwa, “Pendapat yang kuat dalam ayat tersebut adalah ulama dan penguasa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)
Dalam Fathul Qodir, Imam Asy-Syaukani juga menjelaskan, “Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Asy-Syaukani, Fathul Qadir: 1/556) Makna yag sama juga diungkapkan oleh sejumlah mufassir lainnya ketika mendefinisikan ulil amri.
Artinya, sosok ulama merupakan salah satu ulil amri yang memilki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat Islam. Sebutan ulil amri kepada  para ulama tidak lain karena mereka adalah sosok yang memiliki otoritas dalam mengurus persoalan umat terutama dalam urusan agama.
Ulama adalah pemimpin umat yang sesungguhnya
Dalam sejarah Islam, ulama memiliki posisi penting dalam pemerintahan. Mereka adalah para penasehat pimimpin yang berkuasa. Seorang pemimpin tidak bisa mengeluarkan kebijakan dengan tepat tanpa bermusyawarah dengan ulama. Kebijakan mereka akan berjalan efektif di tengah rakyat jika sesuai dengan arahan para ulama. Sebaliknya, ketika kebijakan tersebut berlawanan dengan arahan ulama maka bisa dipastikan tidak akan didengar oleh rakyat atau bahkan tidak ditaati sama sekali.
Dahulu, ketika Muawiyah bin Abu sofyan mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, ia memaksa seluruh rakyat untuk berbaiat kepadanya, baik dengan cara keras maupun lunak. Sehingga ia pun berhasil mewujudkan keinginannya. Namun begitu, ia masih memandang baiat ini masih seperti sandiwara. Sebab, selama ’abadillah (Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Amr bin ‘Ash) dan Hasan belum mau berbaiat kepadanya maka baiat tersebut tidak  berarti di hadapan umat.
Penyebab utamanya adalah mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tidak bisa dianggap enteng. Selain itu, mereka juga memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Oleh karena itu, Mu’awiyah pun memutar haluan dengan menggunakan siyasat yang didukung pedang.
Sebuah kebijakan pemimpin islam, ketika dirunut lebih jauh maka bisa dipastikan tidak lepas dari arahan para ulama. Meskipun tidak memiliki singasana kekuasaan, para ulama memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa umat islam. Mereka adalah pemegang kendali pergerakan umat. Kedudukan mereka di hati umat lebih tinggi daripada para pemimpin yang memegang kekuasaan. Setiap arahannya akan didengar dan diikuti sepenuh hati. Sementara perintah penguasa bisa saja diabaikan jika berlawanan dengan pandangan mereka.
Maka dalam dalam tatanan kehidupan sosial, para ulama memiliki fungsi ganda. Selain bertugas sebagai pemberi penjelasan dalam masalah agama, mereka juga bertanggung jawab memutuskan problematika hukum yang sehari-hari terjadi di tengah umat. Sedangkan tugas para penguasa sebenarnya hanyalah melaksanakan keputusan ulama yang mereka pandang lebih bermanfaat dalam kepemerintahannya, baik yang bersifat individu maupun kemasyarakatan.
Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan, “Kebijakan para pemimpin dan penguasa sangat bergantung pada fatwa dari para ulama. karena itu lah, para ulama bisa disebut juga sebagai penguasanya para pemimpin. Sehingga memasukkan para ulama ke dalam makna ulil amri tentu lebih utama.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, 5/250)
Bahkan dalam kitab Ghiyatsul Umam, Imam al-Juwaini menerangkan, “Jika yang menjadi ulil amri adalah seorang mujtahid maka pendapatnya harus diikuti, semua rakyat mengikuti ijtihadnya dan bukan dia yang mengikuti rakyat. Sementara jika seorang penguasa di suatu zaman tidak mencapai derajat mujtahid maka saat itu yang diikuti adalah para ulama, penguasa hanya mendukung ulama dengan kekuatan yang dimilikinya. Maka kedudukan antara penguasa dan ulama itu seperti seorang raja pada zaman nabi, dia harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh nabi.” (Al-Juwaini, Ghiyasul Umam, 1/380)
Ringkasnya, Tujuan kepemimpinan adalah untuk mengamalkan syariat secara kaffah. Maka sebuah konsekuensi logis bagi pemimpin adalah tidak memutuskan kebijakan yang bertentangan dengan petunjuk syariat. Sedangkan sosok yang paling berkompenten untuk menjelaskan aturan syariat adalah para ulama. Sehingga apapun kebijakan penguasa tentu tidak boleh lepas dari arahan mereka. Sebab, jika kebijakannya berlawanan dengan maksud syariat maka atas dasar apa rakyat harus menaatinya?
Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Sumber:     https://www.kiblat.net/2017/01/21/ulama-pemimpin-sejati-umat-islam/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar